Oleh : Dr. Heri Firmansyah, M. A.
Konflik yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah dianggap sebagai konflik yang berdasarkan agama. Alasan utama yang dimajukan adalah perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah mengenai masalah pembunuhan Usman. Mu’awiyah menganggap Ali harus segera menghukum para pembunuh Usman sesuai dengan ketentuan Islam, sedangkan Ali sebaliknya menganggap hal ini ditangguhkan terlebih dahulu sampai keadaan negara stabil dan aman. Hal ini membuat Mu’awiyah melakukan pemberontakan atas kekhilafaan Ali dan berhasil mengantarkannya menjadi khalifah, setelah terbunuhnya Ali.
Hal ini menimbulkan pertanyaan benarkah tuntutan Mu’awiyah ini murni atas dasar keinginannya dalam penegakan hukum Islam atau ada motif politik tertentu? Hal ini berdasarkan fakta bahwa disaat Mu’awiyah telah menjabat sebagai khalifah ia tidak pernah mengusut tuntas dan menghukum para pembunuh Usman padahal ia memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk melakukannya. Ia menyerukan pencelaan terhadap Ali dan keluarganya dalam setiap khutbah jum’at, padahal hal ini merupakan salah satu syarat dalam peristiwa a’m al-Jama’ah yang dilarang untuk dilakukan oleh Mu’awiyah.
Benturan antara Politik dan Agama
Fenomena ini sungguh menyedihkan kaum muslimin, bahkan mungkin tidak pernah terbayangkan. Mereka para sahabat terkemuka Nabi yang mendapatkan pengajaran langsung dari beliau, dan bahkan dijamin masuk surga dapat terlibat dalam pertumpahan darah dengan sesama saudara seiman. Bagaimana mungkin seorang Ali yang terkenal dengan kesalihan pribadi, keberaniaan didalam membela Islam, integritas diri, kejujuran dan idealisme tinggi sekaligus sepupu Nabi dapat terlibat dalam pertempuran menghadapi orang-orang seperti Thalhah dan Zubeir sahabat terkemuka Rasulullah dan juga Siti Aisyah -isteri Rasulullah saw. Kemudian pertempuran yang melibatkan massa yang jauh lebih besar untuk menghadapai pasukan yang dipimpin oleh Mu’awiyah yang mencoba untuk merongrong kekhilafaan Islam.
Tentu tidak akan ada orang yang menyangkal bahwa mereka jauh memahami tentang agama Islam ini melebihi generasi manapun, karena mereka hidup dengan mendapatkan bimbingan dan ajaran langsung dari Rasulullah. Dan tentu juga pengamalan mereka terhadap ajaran-ajaran agama Islam jauh lebih besar dibandingkan generasi berikutnya. Karena alasan inilah, pertikaian antara beberapa sahabat senior itu dan terlebih khusus Ali dan Mu’awiyah menjadi suatu fenomena besar yang berusaha untuk diselidiki lebih mendalam. Apakah pertikaian mereka murni agama atau ada motif politik tertentu.
Dalam memulai perlawanannya terhadap Ali, Mu’awiyah menggunakan bahasa agama. Ia menuntut kepada Ali agar segera mengadili dan menghukum para pembunuh Usman sesuai dengan ketetapan hukum yang ada didalam agama Islam. Hal ini berarti hukuman Qishash terhadap para pembunuhnya. Mu’awiyah beranggapan perkara ini adalah masalah yang paling pokok dan utama yang harus diselesaikan oleh Ali terlebih dahulu diawal masa kepemimpinannya. Jika Ali belum mengadili para pembunuh Usman maka Mu’awiyah tidak akan pernah mengakui dan membaiat Ali menjadi khalifah.
Sepertinya, tuntutan atas darah Usman adalah pintu masuk bagi Mu’awiyah dalam melawan kekuasaan Ali, sebagai khalifah sah. karena, jika Mu’awiyah langsung mengutarakan kepentingan politiknya untuk menguasai penuh daerah Syam atau menentang kekuasaan Ali dan menjatuhkannya dari jabatan khalifah, tentu ia tidak akan mendapatkan dukungan dan menarik perhatian kaum muslimin. Mu’awiyah tentu sadar betul bahwa dirinya bukanlah tandingan yang seimbang dengan Ali dalam hal kemuliaan, kedudukan dan kehormatan di dalam Islam.
Hal ini dapat terungkap dari sarannya kepada Jarir, utusan Ali, supaya Ali memberikan Mesir dan Suriah kepadanya dan Ali mendapatkan Hijaj dan Irak. Inilah yang kemudian dapat kita lihat –diantara beberapa alasan lain, menjadi kompromi antara Ali dan Mu’awiyah guna penghentian peperangan Siffin yang berlangsung lama. Hal ini kemungkinan akan membuatnya menjadi khalifah secara otomatis jika Ali wafat atau terbunuh. Atau sekenario yang lain adalah, dia akan melakukan perlawanan panjang untuk menumbangkan kekhilafahan Ali dan menaikkannya ketampuk kekuasaan.
Ali tampaknya sulit untuk menghukum para pembunuh Utsman karena banyaknya para pemberontak. Mereka terdiri dari beberapa kelompok dan berasal dari berbagai daerah, dan kini banyak yang menjadi pengikut setianya, ditambah keadaan Negara yang tidak aman dan stabil. Karena itu ia menangguhkan hal ini dan menjanjikan akan dilakukannya setelah keadaan aman dan terkendali. Hal ini tidak diterima oleh Mu’awiyah dan kemudian ia melakukan pemberontakan.
Dari uraian diatas, tampaknya konflik antara Ali dan Mu’awiyah berusaha menggiring masalah agama demi untuk komoditas politik atau setidaknya merebut kekuasaan. Sebagaimana dilihat, para pengikut Mu’awiyah yakin bahwa Utsman telah dibunuh secara zolim, sehingga darahnya harus dibalaskan (lihat QS Al-Isra’ : 33). Sementara itu, banyak orang dikubu Ali yang sama yakinnya bahwa pemberontakan terhadap Ali, yang mereka pandang sebagai khalifah yang ditunjuk secara sah, adalah pelanggaran berat terhadap perintah Al-Quran untuk mentaati Allah, Rasul dan pemimpin (QS. Al-Nisa’ : 59).
Karena alasan-alasan inilah orang-orang Muslim saleh menjadi terpecah belah kepada beberapa kelompok karena permasalahan Muslim memerangi Muslim lainnya. Masing-masing kubu berusaha merasionalkan dan membenarkan pendapat dan perbuatan mereka dengan landasan dalil-dalil agama. Sebagian berpihak kepada Ali, lainnya kepada Mu’awiyah dan sebagiannya lagi lebih bersikap netral.
Penguatan alasan bahwa tuntutan Mu’awiyah hanya sekedar pintu masuk untuk melawan Ali dan merebut kekuasaan, adalah bukti yang kita lihat pada perjalanan sejarah selanjutnya, bahwa ketika Mu’awiyah menjadi khalifah setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyerahkannya dalam peristiwa A’m al-Jama’ah, Mu’awiyah tidak pernah mengungkit dan menghukum para pembunuh Utsman. Ia seperti membiarkan saja kasus tersebut dan tidak pernah mengusut tuntas siapa pelaku pembunuhan Utsman. Padahal ketika itu ia memiliki kekuasaan yang besar dan sanggup untuk melaksanakannya, seperti tuntutannya kepada Ali bin Abi Thalib.
Kesimpulan
Dari paparan di atas dapatlah diambil i’brah: Pertama, Konflik antara Ali dan Mu’awiyah dijadikan pelajaran bahwa sesungguhnya potensi perpecahan dan perselisihan dikalangan kaum muslimin sangat besar jika dalam hidup ini berorientasikan kepentingan dunia. Ini bukan berarti menuduh mereka berdua berkonflik murni karena urusan politik atau keduniawiyaan. Namun, dilihat dari segi keutamaan mereka didalam Islam sebagai pengikut dan sahabat setia Rasululah tentu memiliki pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang berlebih jika dibandingkan generasi sekarang, namun mereka saja dapat terlibat konflik besar yang satu kelompok dengan kelompok lainnya saling membunuh apalagi genarasi sekarang ini. Karena itu perlu ditingkatkan rasa ukhuwah Islamiyah yang tinggi antar sesama saudara seakidah. Tak terkecuali organisasi keislaman atau partai politik Islam, meskipun beda pandangan dan pilihan perjuangan, hendaknya tetap saling menghormati dan menjalin kerukunan untuk berjuang bersama menegakan syiar Islam.
Kedua, Konflik yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah bukan hanya merugikan pihak Ali dan Mu’awiyah beserta para pendukung mereka berdua, tetapi lebih dari itu menyebabkan kerugian yang besar di pihak kaum muslimin dan menyebabkan terpecah belahnya umat Islam kepada beberapa kelompok dan golongan, seperti Syiah, Khawarij, Sunni, Murji’ah dan lainnya. Bahkan perpecahan ini menjurus kepada perpecahan pemahaman agama didalam Islam yang satu dengan lainnya saling berbenturan.
Ketiga, Agama jangan dijadikan komoditas dalam mencapai tujuan politik dan kekuasaan. Terlebih jika ajaran agama itu dipolitisir agar dapat menjadi senjata dan tameng oleh golongan atau kelompok tertentu untuk melawan musuh-musuh politiknya. Ini bukan berarti tidak dibenarkan membawa masalah agama dalam dunia politik. Sebaliknya agama harus menjadi ruh dan semangat bagi setiap tindakan seorang muslim tanpa memilih dan memilah untuk kepentingan tertentu.
Keempat, Berakar dari konflik Ali dan Mu’awiyah dan beberapa faktor fundamental lainnya, Negara Islam saat ini mungkin sulit lagi disatukan dalam satu bendera, namun tidak ada salahnya kalau terus dicoba dan diusahakan. Setidaknya, minimal ada payung organisasi yang menaungi negara-negara Islam tersebut yang berkomitmen kuat membela kepentingan kaum muslimin. Hal ini tentunya diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi negara-negara Islam berbuat lebih banyak untuk mengakomodir kepentingan kaum muslimin dalam pergaulan politik internasional. Seperti lembaga semisal OKI namun dengan komitmen dan kebersamaan yang lebih kuat dan erat lagi.